Kamis, 08 Oktober 2009

Resep Memperawet sepatu

KENAPA TAK PAKAI WALKING SHOES SABAN HARI?

Mestinya dia paham perputaran mode sepatu, termasuk sepatu wanita. Jika benar, itu wajar. Akan tetapi ada yang lebih menarik: saban dua-tiga bulan dia berganti sepatu. “Soalnya ada aja yang nawar selagi saya pake. Ya saya lepas aja,” kata lelaki 46 tahun itu.

Sudah hampir separuh usianya dia menjalani profesinya sebagai tukang resep. “Itu singkatan reparasi sepatu,” kata Bunyamin, lelaki itu, pada suatu sore setelah hujan reda di Jalan Langsat, Kramat Pela, Jakarta Selatan.

Tentang sepatu yang terjual selagi dikenakannya, itu bisa bersumberkan hibah maupun tukar tambah. Biasanya sepatu kulit (imitasi). Sepatu sport, seperti yang dia pakai sore itu, “Nggak bakalan laku. Nggak tau kenapa.”

Tak saya tanyakan hal yang pernah saya tanyakan ke rekan seprofesinya. Misalnya lebih banyak mana yang dia tangani, sepatu wanita ataukah sepatu pria. Juga, lebih banyak mana yang rewel menawar, wanita (kadang beli sepatunya tak banyak pikir) ataukah pria (jumlah sepatu tak banyak wanita).

Meskipun begitu dari setiap perhentian tukang sepatu kita akan segera tahu siapa sajakah pasiennya. Apa boleh buat, sebagian sepatu apalagi sandal wanita memang tak dirancang untuk walking shoes. Akan tetapi yah… demi penampilan maka nyaman tak nyaman alas kaki tipis ber-hak tetap dipakai.

Maka harap maklum jika seorang wanita pernah bilang, “Kaya itu enak. Bisa beli sepatu bagus, awet lagi. Ke mana-mana naik taksi atau mobil. Berangkat dari car port kering, turun di teras lobi yang juga kering.”

Jika Anda usul kenapa tak memakai sepatu all condition gear, maka jangankan wanita karena pria pun akan berkeberatan untuk memadupadankan sepatu lapangan dengan pantalon halus dan kemaju berdasi. Memang pada zaman berjayanya Dr. Martens (yang palsu: Drs. Martens), padu padan kadang masih bisa sepanjang rok kembang dan pantalon masih sesuai.

Di luar urusan padu padan konsumennya, Bunyamin lebih berurusan dengan ini: setiap hari ada saja yang memperbaiki alas kaki. Jika rezeki bagus, dari pagi dia bisa mendapatkan Rp 120.000-an, lalu seperti biasanya dia titipkan gerobak di Taman Gandaria, lantas dia ke Stasiun Kebayoran Lama, naik sepur ke rumahnya di Sudimara.

Tentu ada juga hari seret rezeki dari memutari Kebayoran Baru: hanya membawa dua puluh rbuan (ongkos termurah Rp 6.000 per sebelah sepatu), untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya.

Reparasi sepatu adalah kebutuhan setiap pemakai alas kaki. Dulu, tahun 70-an, ketika sandal jepit pun masih mahal bagi masyarakat bawah, sehingga ke mana-mana nyeker, tukang sepatu adalah pekerjaan orang bawah untuk melayani orang atas. Sekarang, kata Bunyamin, “Orang-orang kan pake sepatu apa sandal, gitu.”

Hmmm reparasi atau jasa “bikin betul” sesuatu. Jika ada waktu, kelas menengah bisa ke cabang Stop n’ Go, dengan ongkos yang lebih mahal, dan yang dibawa ke sana kadang sepatu baru, untuk sekadar menampahkan lapisan dalam agar keringat dan bau terserap.

Bagi yang kurang waktu, atau jarang bepergian, tukang sepatu keliling adalah pilihan. Untuk mencegatnya bisa menitip ke tetangga atau pembantunya.

Kapankah hari-hari ramai bagi Bunyamin dan korpsnya? “Kalo mau puasa atau mulainya puasa. Banyak banget yang betulin sepatu,” katanya. Semakin memepet Lebaran, banyak orang sudah memiliki alas kaki baru, dari Yongki Komaladi sampai (mungkin) Manolo Blahnik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar